Sabtu, 01 Oktober 2011

Katarsis Kata Kata

Hudan Hidayat


Indonesia...Puisi Puisi Sakit Hati


I
Islam

tinggalah remah-remah
di kolong meja
digerogoti habis front yang membelanya


Indonesia lagi lemah, 27 Juni 2010


II
Negara

tinggalah nama-nama
di plang-plang pinggir jalan
menonton kelompok pembuat kerusakan menyerang warganya


Indonesia lagi pengecut, 27 Juni 2010


III
Moral Komunal


tunggangi komunal selagi bisa
atas nama moral komunal
bahkan kau bisa bunuh rahim yang melahirkanmu


Indonesia lagi bodoh, 27 Juni 2010




Pembebasan jadi datang juga melalui kata kata: puisi itu, yang berputar menjadi Indonesia sakit - puisi puisi sakit hati, seperti puisi penyair Dewi Nova ini. Hendak apa kita lagi? Apa yang hendak kita bela, berhadapan dengan "kata kecil" ber-ruang pendek dalam puisi? tapi membesar dalam makna hidup nyata? Itulah dia katarsis kata kata yang kita dapatkan.

Hendak apa Islam dengan kitabnya kalau isi kitab itu hanya ujar ujaran tanpa ada jatuhnya nilai pada kehidupan yang nyata? Anu dilarang itu dilarang, tapi itu dan anu yang terbengkalai tak menjadi urusan orang ramai.

Kemarin kudengar seorang ibu guru muda malu malu berbicara tentang kredit rumah yang mungkin didapatnya. Lalu meloncatlah kata kata "oh" saat sang pemberi informasi melompatkan kata kata yang lupa dari mulutnya. uang muka, ya bu, dan itu nilainya puluhan juta rupian dan begitulah ibu guru TK itu terdiam. tertunduk dan wajahnya memang bukan dari jenis wajah yang kreatif garang. Hanya wajah lembut seorang ibu yang tahu diri. bahwa dirinya hanya guru tk, guru TK tempat di mana seseorang menjadi presiden atau kelak raja. Tapi lihatlah air mata tanpa titik itu kini keluar dari kedua bola matanya yang hitam, yang tunduk seakan mencari cari nasibnya di hamparan mungkin pasir mungkin tak lagi ada pasir yang dipandangnya itu.

Matanya mengalah dan lalu kita tahu begitulah sakitnya negeri sendiri. Sakitnya anak anak negeri yang telah memberikan apa apa tapi sukar untuk sekedar mendapatkan rumah tempat kalau ia pulang bisa sekedar menyandarkan diri dari tubuhnya yang lelah.

Islam hendak apa berhadapan dengan suara seorang seperti itu? Suara seorang ibu guru yang menjadi tali dari ibu guru ibu guru kehidupan yang lain yang luas ini. berapakah jumlahnya? Besar sekali. berapakah angkanya? tak penting berapakah angkanya. yang penting dia ada dan yang paling penting bahwa kita semua melihatnya dengan sekedar mengelentangkan tangan di saku baju kita.

Ke mana nilai nilai agung itu? Nilai dari tiap nilai yang berserakan di negeri ini? Ada di laci. ada di atas almari. Ada di tiap pelarangan yang terasa menggelikan.

Kalian jangan onani ya, itu melanggar undang undang pornografi. ingat baik baik, tubuhmu kini milik kami. negara.

Aku takjub dan bangkit melawannya dengan kata kata. hanya kata. Tapi sebuah pergerakan penting: kata di lawan dengan kata. hanya itu yang kita bisa lakukan. Lakukan apa yang hendak kalian lakukan. Teriakkan apa yang hendak kalian teriakkan. Tapi ingatlah tubuh kita bukan milik negara. pun bukan milik sesiapapun juga. Tubuh kita milik diri kita sendiri. sang unik. sang yang asyik asyik teriakkanlah dengan gembira dan senang hati koor bersama sama.

asyik asyik. egp asyik asyik. sekali lagi: asyiiikkkk

June 29, 2010 at 8:20am 

Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=454040227505



BURUNG DAN AIR DALAM PUISI-PUISI DEWI NOVA

 Djazlam Zainal

Apabila puisi mutakhir Dewi Nova ' Melesat ' dipublish pada tanggal 30 September 2011, saya mula memikirkan sesuatu. Puisi ' Melesat ' berbunyi sedemikian:

Surga di atas meja
kita menjadi burung sekaligus air

Sesekali  menjadi cahaya
melesati lapis-lapis langit ketololan
yang pernah dipercapai sebagai cita

( Jakarta, 30 September 2011 )

Sudah tentu baris ke 2, kita menjadi burung sekaligus air, menarik perhatian saya. Burung dan air sangat besar dalam pengertian Dewi Nova. Kumpulan puisi pertamanya diberi jodol Burung-Burung Bersayap Air ( Jaker, Jakarta, 2010 ) mengandungi 47 buah puisi. Burung-Burung Bersayap Airberbunyi begini:

Burung-Burung Bersayap Air
kepada ATKI

kepak-kepak sayapmu
dalam formasi mengumpul kekuatan
melukis langit dengan busur keadilan

Rentang-rentangkanlah sayap airmu
menyuburkan perlawanan
di desa-desa yang yang kering
di kota-kota yang kejam

Terbang-terbangkanlah sayapmu
melampaui bangsa-bangsa dan benua
sambil mengajari siapa pun tak lebih tinggi
dari siapa
sambil luaskan pandang setiap benua
untuk semua bangsa

BBBA, 2010: 63 )

Begitulah besarnya harapan penyair. Puisinya mendunia, suaranya melangit tinggi. Penyair besar dunia pernah bersuara seperti itu. Usman Awang penyair besar Malaysia menyuarakan dalam Salam Benua. Begitu juga Maya Angelou, Shel Silverstein, Langston Hughes, E.E. Cummings mahu pun Publo Neruda. Burung-Burung Bersayap Air ditujukan kepada ATKI iaitu Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia. Nova sendiri berjuang dalam bidang migrasi, peace building, gender dan seksualitas. Permukimannya pernah di Kupang ( 2001-2002 ) Banda Aceh ( 2006-2008 ) Bangkok ( 2009 ) serta mengadakan reset A report on National Human Right Institution's ( NHRI's ) work to evaluete and monitor state anti - traffiching sesponses in Association of South-East Asian Nation ( ASEAN ) area ( 2009 )

Selain puisi sebagai genre sisinya, lebih 40 buah tulisan mengenai organisasi perempuan telah dipublish. Organisasi kerjasama Hivos ( organisasi asal Belanda ) adalah mekanisme dan pembangunan perempuan disaingi keadilan di Sumatera dan Jawa. Nova, perempuan pemberani ( title pemberian saya! ) yang lahir tanggal 19 Nopember 1974 di Perkebunan Teh, Kebupaten Bandung, sekarang menetap di Pemulang, Tenggerang Selatan.

Sudah tentu saya tidak akan melihat kembali puisinya dalam kumpulan Burung-Burung Bersayap Air danMelesat namun rohnya ' burung dan air ' yang saya cuba selidiki dengan jiwa penyair ' perempuan pemberani ' ini. Saya teringat Micheal Riffaterre, expresses concepts an things by indirection ( 1998: 11 ) Sajak dibina melalui mainan kata-kata yang disengajakan lewat kepekaan penyair. Yang demikian realiti yang terbina daripada kesan-kesan di luar akan menjelma menjadi realiti yang baru dan membentuk teks.

Kita sering mendengar, karya itu adalah anak kandung pengarangnya. Bagaimana rupa pengarang/penyair, begitulah bentuk puisinya. Apabila penyair telah mengadun semua fantasi, ilusi, imaginasi dan bahasa, karya yang lahir tidak lagi mempunyai wajah yang sama dengan yang asal ( realiti ) Namun acuan asal mempengaruhi pembentukan penghasilan puisi. Judson Jerome menyatakan,alam pemikiran dan imaginatif meleburkan unsur-unsur kreatif. Ia menyuluh kepekaan kepada misteri ( John Middieton: 1967, Myth and Cosmos )

Puisi tidak terhasil dalam suasana vacuum. Dunia Nova adalah dunia gender wanita, yang dilihat, dialami dan diselami. Sebab itu ia menjelma ke dalam diri penyair. Kadang-kadang penyair terpaksa melakonkan kembali penderitaan itu. Ia memasuki alam, kesakitan, kehinaan dan cacian. Ada beberapa puisi yang saya rasa penyair begitu berat menyuarakan tetapi beliau harus. Antaranya, Kepada Perempuan-Perempuan Patpong II.

bibir indahmu tak hanya membuka botol-botol minuman
bibir indahmu menelanjangiku
pada mulut tempat aku lahir di dunia...

Sudah tentu ini bukan diri dan suara hakiki penyair. Penyair terpaksa menyuarakan bagi mewakili perempuan-perempuan patpong yang teraniaya. Sebagai pembutuh keadilan, penyair harus membuka topeng dirinya, menyelam ke dalam khalayak yang mempertimbangkan kebenarannya. Ia terus mengulangi,

bibir-bibir indahmu
berkisah dunia yang tak bersetubuh dengan kebijaksanaan
dan hidup yang tak mau dikalahkan

Lama dulu Chairil telah mengucapkan hal yang sama.

aku ini binatang jalang
dari kumpulan terbuang

Semangat, 1943 )

hidup hanya menunda kekalahan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

Derai-Derai Cemara, 1949 )

Untuk menyuarakan keadilan, Nova tidak harus berlembut secara metafora. Sesekali harus berlagak kasar, brengsek, brutal dan sebagainya yang kadangkala menjejaskan tumpuan audion kepada dirinya. Nova sebagai penyair telah memilih jalan yang berliku ini. Dia memilih untuk menyuarakan yang tabu, seksual dan porno. Saya simpati dengannya, kerana ketulusannya memperjuangkan gender, Nova terpalit sebagai faminisme. Lihatlah matanya yang kuyu, hujung bibirnya yang melukiskan senyuman merayu, ia adalah kekuatan yang tak ketimbang oleh pukulan badai. Dia memilih burung yang terbang bebas, dengan sayap air yang kembang untuk membawa pulang ke peraduannya yang mulus dan mengindahkan.

Burung dan air dalam puisi-puisi Dewi Nova adalah metafora kekuasaan ruang lingkupnya serta kelembutan kewanitaannya. Dalam derap sepatu yang menerjang keras, ada kelembutan cinta yang didambakan oleh penyairnya.

Daftar Pustaka

Dewi Nova, Burung-Burung Bersayap Air, Jaker, Jakarta, 2010

Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, Gramedia, Jakarta, 2000

                                                                Dewi Nova memilih burung dan air dalam mengidentik dirinya..



Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=257472380958910