Minggu, 18 September 2011

Kukutuk Diriku Menjadi Angin


Hudan Hidayat

Puisi Puisi Rahasia
I
Rahasia

Setiap kali matamu terkatup lelap
kukecup kelopak bibirmu
lalu kukutuk ragaku menjadi angin

Bila pagi tiba
kau tahu, aku di ribuan mil tanpa sayap

Bumi, 11 Agustus 2010 II

II
Sibakan

Sibakan rambutku
Serupa penciptaan ombak yang pertama

Bumi, 11 Agustus 2010

III
Lost Time

Kucandui seperti agama
Agar tak sehelai rambutmu
Menganggu jalan sunyiku

Bumi, 14 Agustus 2010


*relasi aku dan kau dalam puisi cepat sekali membawa seni kata kata itu jatuh pada sensasi inderawi semata, tanpa sang penyairnya, entahlah bagaimana melakukannya, memberikan jalan naik dalam puisi. jalan yang sebenarnya bukan diberikan tapi keluar saja dari dalam jiwa sang penyair. bahwa saat ia menulis puisi, jiwa tak sadarnya bangkit, mencari saluran saluran dan itulah saatnya talens sang penyair bekerja: ia menemukan sebuah degup, sebuah denyar, dalam jiwanya yang berdenyut denyut dan kelak, degup dan denyut seperti itulah, kita baca sebagai degup dan denyut kata kata yang telah kehilangan aspek "penjelas/diskursifitas"nya. kata kini menjadi dunia subversi dalam arti, sering bukan dipandu oleh suatu pengertian dalam gelaran kata kata lagi, tapi sebuah pecahan pecahan dari perasaan tua yang kini seolah berebut meminta tempatnya dalam struktur sebuah puisi. kata pun menjadi cetusan cetusan entah.

cetusan entah itulah yang membuat realitas nyata yang rutin, mengalir tenang, kini mendapatkan padanannya: kata membawanya ke arah kemungkinan lain, kemungkinan tak terduga. barang tentu penyairnya masih memakaikan kata yang itu itu juga. tapi isi dari kata yang bergerak gerak itu seolah mahluk yang seolah kita kenali tapi kita belum paham benar apa ini. seolah kita tak paham tapi sepertinya ia adalah wajah kita juga dalam diri kita sendiri. pada dunia kata seperti itulah kadang saya berhenti lama dan terlena, mengenangkan diri sendiri dan mengukurnya sambil berpikir pikir bagaimana cara penyairnya membuatkan kata kata seperti itu di dalam puisi. tapi lalu cepat saya ingat lagi keyakinan saya sendiri: kata seperti itu bukan datang dari otak sadar. mungkin dari suatu keterbiusan sang penyair saat perasaan itu muncul dan menjadi ledakan impuls dari dalam dirinya.

elly dalam ke mana perginya angin, membawaku pada suasana kata yang barusan saya ilustrasikan. suasana kata yang entah walau dalam tampilan kata yang nampaknya serba jelas. suasana yang berakhir di suatu titik henti tak bisa membalik lagi. itu kudapatkan dari kata keranda di dalam puisi. bahwa gerakan engkau datang itu rupanya bergerak ke satu jurusan: keranda - peti mati yang membuat tokoh tokoh dalam dunia sastra mengayunkan sedih dalam diri. ada aku yang menyebut engkau di sana. ada keranda dan banyak gerakan aku yang menyebut engkau di sana. tapi tapi tiga gerakan itu berakhir dalam keranda. dalam gerakan akhir pada waktu subuh. di subuh yang diam air mata pun jatuh, kata sang aku dalam puisi. telah kuhilangkan bulir bulir sebelum air mata itu. bulir bulir itu kupotong untuk mempercepat waktu yang berhenti di keranda. untuk apa lagi bulir bulir kalau air mata itu sudah jatuh di subuh yang diam, dengan keranda di depan matanya yang berkabut air mata. siapa yang datang dalam bait pertama dalam puisi elly marliah ini? engkau datang, katanya.

siapa engkau yang dikatakannya berlari mengejar bayang? bayang apa? terasa itu adalah gerakan dunia dan gerakan dunia ini terasa dibawa naik oleh sang penyair - dibawa naik ke mana? ke mengatasi dunia. sehingga kesan inderawi dilampaui oleh penyair. relasi aku dan engkau tak semata berhenti di titik sedih aku dan engkau, tanpa jalan keluar, atau tanpa aku dan engkau di sana dapat keluar dari semata aku dan engkau. penyair menguit aku dan engkau di sana dengan kata keranda itu, kata bayang, dan seluruh gerakan yang menjurus ke arah mati. kelak di bait kedua ia menali jurusan itu dengan gerakan yang tak tentu arah dan itu adalah angin, pelangi, gerakan dalam kerajaan yang m kapital itu benar benar membuka jalan naik bagi puisi. bahwa semua yang diceritakan penyair di sana, kisah sedih antara aku dan engkau, kini diletakkan ke dalam mu dengan m kapital itu. lalu tahulah kita relasi di dalam puisi adalah relasi mati yang hendak diangkat penyair: bukan tubuh lagi yang menjadi sebuah (semata) kesedihan, tapi sesuatu yang mengatasi tubuh - kerajaan mu dengan kapital itu. yang membuat dunia telah senyap angin pun telah pergi. engkau adalah angin, yang bergerak ke dalam keranda, dalam bayang bayang kerajaannya. di sanalah aku bersedih. melepasmu pergi dalam tiap gerakan yang kau ceritakan tentang dan akan dirimu sendiri.

Engkau datang biarpun kematian membayang Engkau yang lalu lalang menatap nyalang Engkau yang berlari mengejar bayang Disubuh yang diam bulirbulir air matapun jatuh Berpisah di keranda Anginpun pergi JIwajiwa terbang menyongsong pelangi Berenangrenang di muara abadi di kerajaan sang Maha Kudengar anginpun lirih bermain irama Dunia senyap angin telah pergi

 **penyair dewi nova memberi besaran puisi puisinya sebagai puisi puisi rahasia. rahasia apakah yang hendak diceritakan penyair yang mukim di dua kota ini - bangkok dan indonesia, sebagai aktivis lsm yang vokal menyuarakan manusia yang kena nasib buruk oleh kuasa negara. demi memudahkan pengelihatan aku turunkan dulu puisi puisi rahasia yang dibentukkan ke dalam tiga pengucapan dalam puisi dewi nova.

Rahasia

Setiap kali matamu terkatup lelap
kukecup kelopak bibirmu
lalu kukutuk ragaku menjadi angin

Bila pagi tiba
kau tahu, aku di ribuan mil tanpa sayap

Bumi, 11 Agustus 2010 II

Sibakan

Sibakan rambutku
Serupa penciptaan ombak yang pertama

Bumi, 11 Agustus 2010

Lost Time

Kucandui seperti agama
Agar tak sehelai rambutmu
Menganggu jalan sunyiku

Bumi, 14 Agustus 2010

tiap pembahasan puisi bisa menempuh dua arah yang dikehendaki dan kedua jalan itu sama sama jalan yang sah. jalan menempatkan sebuah puisi atau buku penyair ke misal seperti yang diinginkan elliot dalam tradisi dan bakat itu, adalah suatu perbandingan dengan penyair lain yang telah meninggal: tepatnya perbandingan puisi dengan angkatan angkatan dari puisi yang kita bicarakan. jalan seperti ini dapat membuat pengelihatan bukan semata instrinsik sebuah puisi, tapi melibatkan disiplin mungkin politik, sosiologi, sejarah, atau apalah yang bisa dijadikan tools of untuk suatu perbandingan semacam itu. jalan itu bagiku tak efisien diterapkan dalam cara menulis langsung yang sedang kukerjakan ini. lagi pula bagus juga kita langsung menghadapi puisi sebagai puisi yang kita lepaskan dari konteks dengan puisi lain atau konteks dengan suatu sejarah hidup manusia. kalau harus memilih mudah saja: kita buatkan satu bab untuk jalan pertama seperti itu, lalu kita menulis di bab ke dua untuk pengelihatan yang sedang kita kerjakan ini. kritikus belanda itu pernah muncul dengan satu buku kritik menyuarakan jalan kedua yang kupilih ini. ia lebih memfokus pada sepuluh puisi yang ditatapinya.

tergantung pada kata (judul bukunya itu), bagiku menampakkan niat sang kritikus untuk bekerja penuh mencurahkan waktu kepada 10 seni kata kata dari sang penyair yang dibahasnya. bagiku kata memang harus dihadapi dengan membukakan pengelihatan kedua atas sebuah puisi. dinamik yang membuat kita fokus pada keindahan dan kedalaman suatu kata - puisi itu.

seperti misalnya puisi dewi nova ini, yang membawa kata angin juga tapi angin di puisi dewi nampaknya berbeda sekali dengan angin di puisi elly yang baru saya tuliskan tadi. di dewi angin itu berputar ke semata tubuh - tubuh yang sunyi. tubuh yang bisa juga disebutkan sebagai tubuh yang kecewa. ada relasi aku dan kau juga seperti relasi dalam puisi angin-nya elly. tapi aku dan kau di sana semata relasi tubuh. kalau kita berkaca kepada jalan naik sebuah puisi seperti yang dinyatakan di atas, maka pada puisi dewi tak ada jalan naik itu. ia benar benar menceritakan aku dan kau dalam relasi yang nampaknya benar benar lirik - sang kau menjadi pasif. relasi itu kita tahu saat si aku lirik (maka disebut puisi lirik) bercerita tentang hubungannya dengan kau di dalam puisi. hubungan yang satu arah dan arah itu adalah lirik si aku itu, yang bercerita tentang kecewa, atau tentang patahnya suatu angan. tapi apa penyebabnya tak ada penjelas dalam puisi. dan memang tak perlu dijelaskan. puisi toh bukan ilmu yang bersifat diskursif itu. langsung saja sifat kecewa atau patah dalam hubungan itu dinyatakan sang penyair. tapi sifat pernyataan dalam kata itu yang membuat walau dewi tak menguit puisinya untuk naik, dengan memberikan jalan seperti yang ditempuh oleh elly. sifat kata di sana mengambang, membawa ketakpastian. dunia manusia telah bertemu di sana: Setiap kali matamu terkatup lelap/kukecup kelopak bibirmu kata kata di atas seakan membawa suasana romans dalam kehidupan manusia, oleh kata khas yang dipakai dalam sebuah romans: terkatup, lelap, kukecup, kelopak, bibir. seakan meng ia kan suatu percintaan. tapi lihatlah sang penyairnya membawa hal yang indah itu ke getir, bahkan getir yang fatal. dengan kecewa (atau kosong dari perasaan?) ia berkata dalam lanjutan katanya: lalu kukutuk raguku menjadi angin. dua tampilan bahasa seperti ini membuat struktur pemaknaan menempuh ketidakpastian - membuat puisi cepat masuk ke dalam bayang hidup kita sendiri juga: yang serba tak pasti. maka kita cepat masuk ke dalam dua tampilan kata itu: meng ia kan tapi sekaligus dalam luncuran kata yang sama: men-tidak-kan. lalu mengapa ia pertama itu kini dijawab dengan tidak? hingga begitu fatal tidak itu: kukutuk ragaku menjadi angin. raga itu fisik dan angin itu bukan fisik dalam pengertian tak terlihat oleh indera. mengutuk fisik atau mungkin kita sebut saja sebagai ada. mengutuk ada dan angin boleh kita pindah menjadi tiada. maka mengutuk ada untuk tiada, inilah suatu meaning yang kita dapatkan dari relasi antara aku dan kau di sana. aku yang ada menjadi tiada dari suatu hubungan yang nampaknya adalah romans.

apakah ini artinya untuk sebuah representasi bahasa sebagai tampilan hubungan manusia? kata di akhir puisi menampakkan space ruang dan space waktu dalam puisi. nampaknya itu hubungan semalam - romans itu, tempat di mana sang aku dalam puisi menghilangkan dirinya - menjadi tiada dengan suatu bahasa yang bukan main kuat: kukutuk ragaku menjadi angin. angin sebagai simbolik ketidakpastian kini membawakan arah baru dalam dirinya: kena kutuk dan menjadi limpahan raga yang kena kutuk. dulu malin kundang dikutuk ibunya dan menjadi batu. kini dewi - sesama perempuan (tanpa harus mengacukannya ke jender), mengutuk dirinya sendiri tapi bukan menjadi batu tapi menjadi angin. maka nampak bagiku angin di sini adalah suatu arah baru perlawanan. bukan batu yang diam tapi tubuh yang menyongsong gerakan dirinya sendiri ke dalam ketidakjelasan - ketakpastian itu ditempuhnya, dan untuk itu romans itu ia tinggalkan. ini suatu pemihakan diri yang menemui arahnya pada dunia simbolik kata kata: kukutuk diriku menjadi angin, menjadi suatu puncak pengucapan atas diri yang hendak bebas. bebas ke mana diri yang telah menjadi angin itu? kebebasan selalu membawa ke pada resah. tapi mereka yang memihak pada eksistensi akan menerimanya sebagai resiko. sebagai suatu yang niscaya. pedih kebebasan itu bahkan fatal kebebasan itu, tapi harus kita tempuh demi suatu eksistensi diri. lihatlah kata dewi: Bila pagi tiba/kau tahu, aku di ribuan mil tanpa sayap maka bagi saya jalan naik yang dibawa puisi dewi ini menempuh arahnya sendiri - jalan itu naik juga tapi tidak melalui suatu institusi yang disubstitusikan oleh elly tadi dengan kerajaan dengan m kapital itu. dewi membawa puisinya naik, bahkan dengan berani walau pahit adanya, ke dalam dirinya sendiri sebagai manusia. untuk itu ia berani dan tak gentar untuk berada jauh sendirian. dunia romans dilipat oleh dunia kesendirian dalam hidup manusia. aku di ribual mil tanpa sayap - terbaca sebagai aku jauh sendirian tanpa kau lagi di sampingku.

adalah menarik dari suatu bongkah misteri kata kata dalam puisi dewi: apa yang terjadi dalam romans itu, sehingga sang aku lirik berlari sejauh itu. tidakkah apa yang dilakukan dewi nova sama dengan yang dilakukan oleh chairil dulu? aku ini binatang jalang dari kumpulan yang terbuang, untuk suatu jarak pemisahan diri dari kerumunannya (puisi ini harus dibaca pada suatu konteks yakni konteks kita sebagai anak negeri yang lagi terjajah, sehingga kata seperti itu meletup kuat bukan main sebagai bom katarsis bagi manusia indonesia yang sedang mencari diri saat itu) pada dewi pemisah itu datang dari relasional antara aku dan dia-nya. tapi arahnya sama penuh resiko, yang nampaknya kuat dibayar sang aku dewi seperti yang telah dibayar oleh sang aku chairil. kukutuk ragaku menjadi angin kau tahu, aku di ribuan mil tanpa sayap begitulah dalam bayangan bahasaku, betapa pengucapan orang dulu dan orang masa kini, tak begitu banyak beda arah dan isinya.

suatu pemberontakan selalu berulang: mengatasi terus ruang dan waktu dalam hidup manusia. seperti sukarno dan kawan kawannya dulu: memberontak sebagai aku melawan kau kolonial. remasan aku sukarno kini menjadi pecahan aku dewi, aku elly, dan aku kita kita yang hendak menempuh arah kebebasannya sendiri sendiri juga. selamat hari merdeka wahai segenap manusia di mana pun kita berada. kukutuk diriku menjadi angin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar