Minggu, 18 September 2011

Sajak Sajak Lebaran Dewi Nova ke Arah Puisi Mbling?


Djazlam Zainal


Sajak Sajak Lebaran

I
Zikir Akbar

Mengapa kita membiarkan guru pembunuh dan tukang pukul
memimpin zikir akbar?

Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar

Mari berlebaran dengan santapan daging sesama


Tangerang Selatan, 2011


II
Keluarga

Di meja ketupat
ikatan-ikatan keluarga menguat

Barang siapa membuih-buihkan agama di mulutnya
Barang siapa mengarab-arabkan gaun dan tutup kepalanya
dapatlah ia anggukan dan pujian terbanyak

Biar ia rendahkan puan yang rahim hidup
Biar ia rendahkan tiap-tiap yang berjiwa 
Biar ia rangsak perut-perut yang lapar

Di meja ketupat
diam-diam kulepas ikatan


Bogor, 2011


III
Kastangel Cinta

Lebaran tiba bersayap angsa
kugigit kastangel buatan Bunda
sambil mengenang Nenek  mendendangkan Islam untuk menyinta


Cipinang, 2011


Membaca Sajak-Sajak Lebaran Dewi Nova, saya pantas teringat puisi mbling yang pernah muncrat pada suatu ketika dulu. Apakah secara tidak sadar Dewi telah mulai mempraktikan kembali puisi-puisi mbling? Puisi mbling dikatakan berspiritkan pemberontakan kemandengan situasi social budaya, politik, dengan idiom yang mbling, apa adanya, lugu bersifat melawan kemampanan, segera menjadi isu yang seksi bagi kaum muda. ( Heru Emka, 2011 )
Puisi mbling mendapat nyawanya sebagai gerakan penulisan puisi alternatif, bermula di Bandung pada tahun 1970-an, dicetus pertama kalinya oleh majalah Aktual oleh Ramy Solido, Jehan dan Abdul Hadi WM yang kemudian merebak menjadi wacana nasional. Gerakan ini dilancarkan untuk melawan elitisasi sastra yang berpusat pada majalah Horison serta gerakan caltural seperti perkemahan Kaum Urukan yang dilakukan oleh Bengkel Teaternya WS Rendra di Prangtritis.

Di Malaysia, pertengahan tahun 1970-an terdapat satu gerakan dari Anak Alam yang dianggotai oleh Latif Mohidin, Mustaffa Ibrahim, Siti Zainon Ismail yang juga mahu merakyatkan puisi dan seni lukis. Ia kemudian disertai oleh penyair-penyair jalanan seperti Pyan Habib, Sani Sudin, Kamarul Haji Yusuf dan lain-lain. Beberapa elitis sastra seperti A. Samad Said agak keberatan dengan cara baru penyair jenis mbling ini. Sedangkan Usman Awang agak merestui. Puisi-puisi mbling dibawa ke jalan raya, ke bawah tiang-tiang lampu di Pasar Seni ( sekarang Pasar Budaya ) atau di Jalan Melayu di Wisma Yakin, Kuala Lumpur ( sekarang Jalan Masjid India ) Puisi mbling ini dibaca dengan teriakan keras, menjerit-jerit hingga Pak Samad beriaksi, ' itu bukan puisi, itu jeritasi, atau apa sih! ' Sinis beliau. Antara puisi mbling Pyan Habib;

gua gelita malam
aku
       sujud
menyetubuhi subuh
di depanmu
bagai anjing-anjing liar
meraung
               menggelepar
                                   menyentak
berahi hitammu
meraung
              menggelepar
                                  menyentak
ghairah mimpiku

( gua, kuala lumpur, 1979: 8 )

Atau puisi-puisi lain Pyan Habib yang terluka.

seperti
ketika air sedang surut
- aku mengembara
begitu siput
dengan mulut penuh lumpur
- terkapar
begitu aku
jadi nanar
dan tersungkur
dengan mulut terbuka
menghulur
lidah terbakar

terluka, kuala lumpur, 1977: 14 )

Puisi-puisi Pandu Ganes, ( 2011 ) tokoh dari Paguyuban Karl May, Indonesia ini juga menulis puisi mbling.

Kabut menyelimut
malam semakin redup
pandangan selangkah dua ke depan
kelonteng trem di Kannedy Town bertalu lirih meminta jalan
Harum kenari bertemu ruyak ke mana?
dan..
manakala kabut tersaput
Dahak Cina di mana-mana

Hong Kong, Kampung Peladen, 2011 )

Atau puisi-puisi senafas yang membrengkut ini.

Demokrasi
Nek Emoh
ya dikerasi

Demokrasi di Masa Orba, Kampung Peladen. 2011 )

Yeah!
Yeah!
Yeah!

( Bitelmania Selalu, Kampung Peladen, 2011 )

Sajak-Sajak Lebaran, Dewi Nova ( 2011 ) saya melihatnya cukup sinonim dengan puisi mbling.


Mengapa kita membiarkan guru pembunuh dan tukang pukul
memimpin zikir akbar?

Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar

Mari berlebaran dengan santapan daging sesama


zikir akbar, tengarang selatan, 2011 )


Di meja ketupat
ikatan-ikatan keluarga menguat

Barang siapa membuih-buihkan agama di mulutnya
Barang siapa mengarab-arabkan gaun dan tutup kepalanya
dapatlah ia anggukan dan pujian terbanyak

Biar ia rendahkan puan yang rahim hidup
Biar ia rendahkan tiap-tiap yang berjiwa 
Biar ia rangsak perut-perut yang lapar

Di meja ketupat
diam-diam kulepas ikatan


keluarga, bogor, 2011 )

Lebaran tiba bersayap angsa
kugigit kastangel buatan Bunda
sambil mengenang Nenek  mendendangkan Islam untuk menyinta


kastengal cinta, cipinang, 2011 ) * kastengal adalah sejenis kue kering lebaran yang mesti ada bagi masyarakat Indonesia ketika menyambut lebaran mulia.

Dewi Nova, menulis puisi, cerpen, reportasi dan esai. Bukunya, Burung-Burung Bersayap Air ( Joker, 2010 ) mendobrak kuat puisi Indonesia. Pendatang muda puisi ini jelas pengkagum feminis, buku socialnya Kajian Analisis Dampak Pelembagaan Nilai-Nilai Agama Terhadap Kehidupan Perempuan ( Solidaritas Perempuan Aceh, 2011 ) Kami Tak Bisu, Kongkow Lez ( Institut Perempuan, 2011 ) dan juga ampunya perkumpulan Perempuan Berbagi, organisasi yang percaya pada perempuan melampaui batas kebutuhan dan orientasi seks. Dari kacamata sedemikian, saya melihat Sajak-Sajak Lebarannya.

Sudah pasti perempuan yang keliling kegiatan socialnya atas nama perempuan ke seluruh manca negara, Bangkok, Ren Rai, Chengmai dan sebagainya, sesekali pulang ke Tengarang, merayakan idul fitri ke rumah tetuanya, akan mendapat cerita yang berbagai. Dalam baris pertamanya, mengapa kita biarkan guru pembunuh dan tukang pukul memimpin zikir akbar, aluhu akbar ( 3 X ) menunjukkan aksi protesnya terhadap situasi semasa kebobrokan amir agama. Sudah banyak didengar tentang ketidak sependapatnya mereka terhadap hal-hal agama. Hingga penyair mengajak mereka, mari berlebaran dengan santapan daging sesama.

Dalam puisi Keluarga, penyair lebih menatap tentang hubungan dirinya dengan keluarga. Katanya, di meja ketupat/ ikatan keluarga menguat. Ya, sudah tentu kembali ke dalam keluarga di hari lebaran ( di lambang di meja ketupat ) sungguh membahagiakan. Namun, baris keduanya berisi konfliks antara budaya. Bilang siapa membuih-buihkan agama di mulutnya/ bilang siapa mengarab-arabkan gaun dan tutup kepalanya/ dapatlah ia dianggukkan dan pujian terbanyak. Di hadapan keluarga ortodok yang berfikiran tertutup dengan ikatan tradisional dan penuh islamik, sudah tentu risih dengan keluarga perempuan yang sangat bebas cara pakaian, cara pertuturan malah cara kehidupan desa yang tradisional. Barangkali pemandangan perempuan dewasa tanpa tutup kepala ( purdah ) tanpa pakaian menutup aurat ( biasa bergaun ala perempuan  bole ) menunjukkan betapa perempuan social ini jauh daripada budaya keluarganya yang islamik. Jadi segala omongan orang tua menjadi, biar ia merendahkan puan yang rahim hidup/ biar ia merendahkan tiap-tiap yang berjiwa/ biar ia rangsak perut-perut yang lapar. Dia tidak dapat menerima kata-kata yang berada di luar kondisi kehidupannya. Akhirnya, penyair membuat konsendensi, di meja ketupat/ diam-diam terlepas ikatan. Kata-kata nasihat orang tua telah menguraikan ikatan persaudaraan. Walau pun pada hakikatnya, dia pulang untuk mengeratkan  ikatan keluarga. Barangkali untuk lebaran mendatang, penyair tidak akan berada di meja ketupat lagi setelah ikatan keluarga yang melonggar itu.

Dalam Kastengel Cinta ( kastengel adalah kue tradisi yang kedapatan pada musim lebaran ) juga memberi nafas yang sama. Kepulangan berlebaran yang umpama putih angsa, rupanya disuguh dengan bebelan nenek mengkutbah Islam untuk menyita ( untuk menguasai ) Tentunya bagi anak muda yang biasa bebas dengan segala urakan, segala nasihat hanya dianggap penyitaan dan kongkongan belaka. Ketiga-tiga puisi lebaran ini jelas memberi tamparan emosi buat penyair biar pun ia berlaku di Tengaran, Bogor dan Cipinang. Tetapi seakan-akan mereka ini melempar tusukan yang sama. Islam yang pada pandangan penyair tidak toleran.

Barangkali bahasa Dewi Nova tidak pas-pasan seperti penyair mbling yang lain. Namun cetusan mindanya jelas mbling iaitu cuba melawan elitisasi Islam bagi golongan ortodok. Dewi mempunyai pandangannya terhadap Islam yang lebih liberal namun bertentangan dengan nilai-nilai desa terutamanya hari lebaran yang lebih merupakan perayaan keagamaan. Di kota-kota besar mungkin lebaran yang merupakan perayaan selepas terkongkong oleh ramadhan yang tersekat oleh banyak ketidak bolehan melakukan itu dan ini. Dan hari lebaran bagi golongan liberal ini mengisi kembali kebiasan-kebiasaan yang ditinggalkan itu. Menjingkrak semau mungkin. Berkelakuan semau yang boleh. Ini juga ciri-ciri mbling di luar pengucapan puisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar