Sabtu, 01 Oktober 2011

Katarsis Kata Kata

Hudan Hidayat


Indonesia...Puisi Puisi Sakit Hati


I
Islam

tinggalah remah-remah
di kolong meja
digerogoti habis front yang membelanya


Indonesia lagi lemah, 27 Juni 2010


II
Negara

tinggalah nama-nama
di plang-plang pinggir jalan
menonton kelompok pembuat kerusakan menyerang warganya


Indonesia lagi pengecut, 27 Juni 2010


III
Moral Komunal


tunggangi komunal selagi bisa
atas nama moral komunal
bahkan kau bisa bunuh rahim yang melahirkanmu


Indonesia lagi bodoh, 27 Juni 2010




Pembebasan jadi datang juga melalui kata kata: puisi itu, yang berputar menjadi Indonesia sakit - puisi puisi sakit hati, seperti puisi penyair Dewi Nova ini. Hendak apa kita lagi? Apa yang hendak kita bela, berhadapan dengan "kata kecil" ber-ruang pendek dalam puisi? tapi membesar dalam makna hidup nyata? Itulah dia katarsis kata kata yang kita dapatkan.

Hendak apa Islam dengan kitabnya kalau isi kitab itu hanya ujar ujaran tanpa ada jatuhnya nilai pada kehidupan yang nyata? Anu dilarang itu dilarang, tapi itu dan anu yang terbengkalai tak menjadi urusan orang ramai.

Kemarin kudengar seorang ibu guru muda malu malu berbicara tentang kredit rumah yang mungkin didapatnya. Lalu meloncatlah kata kata "oh" saat sang pemberi informasi melompatkan kata kata yang lupa dari mulutnya. uang muka, ya bu, dan itu nilainya puluhan juta rupian dan begitulah ibu guru TK itu terdiam. tertunduk dan wajahnya memang bukan dari jenis wajah yang kreatif garang. Hanya wajah lembut seorang ibu yang tahu diri. bahwa dirinya hanya guru tk, guru TK tempat di mana seseorang menjadi presiden atau kelak raja. Tapi lihatlah air mata tanpa titik itu kini keluar dari kedua bola matanya yang hitam, yang tunduk seakan mencari cari nasibnya di hamparan mungkin pasir mungkin tak lagi ada pasir yang dipandangnya itu.

Matanya mengalah dan lalu kita tahu begitulah sakitnya negeri sendiri. Sakitnya anak anak negeri yang telah memberikan apa apa tapi sukar untuk sekedar mendapatkan rumah tempat kalau ia pulang bisa sekedar menyandarkan diri dari tubuhnya yang lelah.

Islam hendak apa berhadapan dengan suara seorang seperti itu? Suara seorang ibu guru yang menjadi tali dari ibu guru ibu guru kehidupan yang lain yang luas ini. berapakah jumlahnya? Besar sekali. berapakah angkanya? tak penting berapakah angkanya. yang penting dia ada dan yang paling penting bahwa kita semua melihatnya dengan sekedar mengelentangkan tangan di saku baju kita.

Ke mana nilai nilai agung itu? Nilai dari tiap nilai yang berserakan di negeri ini? Ada di laci. ada di atas almari. Ada di tiap pelarangan yang terasa menggelikan.

Kalian jangan onani ya, itu melanggar undang undang pornografi. ingat baik baik, tubuhmu kini milik kami. negara.

Aku takjub dan bangkit melawannya dengan kata kata. hanya kata. Tapi sebuah pergerakan penting: kata di lawan dengan kata. hanya itu yang kita bisa lakukan. Lakukan apa yang hendak kalian lakukan. Teriakkan apa yang hendak kalian teriakkan. Tapi ingatlah tubuh kita bukan milik negara. pun bukan milik sesiapapun juga. Tubuh kita milik diri kita sendiri. sang unik. sang yang asyik asyik teriakkanlah dengan gembira dan senang hati koor bersama sama.

asyik asyik. egp asyik asyik. sekali lagi: asyiiikkkk

June 29, 2010 at 8:20am 

Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=454040227505



BURUNG DAN AIR DALAM PUISI-PUISI DEWI NOVA

 Djazlam Zainal

Apabila puisi mutakhir Dewi Nova ' Melesat ' dipublish pada tanggal 30 September 2011, saya mula memikirkan sesuatu. Puisi ' Melesat ' berbunyi sedemikian:

Surga di atas meja
kita menjadi burung sekaligus air

Sesekali  menjadi cahaya
melesati lapis-lapis langit ketololan
yang pernah dipercapai sebagai cita

( Jakarta, 30 September 2011 )

Sudah tentu baris ke 2, kita menjadi burung sekaligus air, menarik perhatian saya. Burung dan air sangat besar dalam pengertian Dewi Nova. Kumpulan puisi pertamanya diberi jodol Burung-Burung Bersayap Air ( Jaker, Jakarta, 2010 ) mengandungi 47 buah puisi. Burung-Burung Bersayap Airberbunyi begini:

Burung-Burung Bersayap Air
kepada ATKI

kepak-kepak sayapmu
dalam formasi mengumpul kekuatan
melukis langit dengan busur keadilan

Rentang-rentangkanlah sayap airmu
menyuburkan perlawanan
di desa-desa yang yang kering
di kota-kota yang kejam

Terbang-terbangkanlah sayapmu
melampaui bangsa-bangsa dan benua
sambil mengajari siapa pun tak lebih tinggi
dari siapa
sambil luaskan pandang setiap benua
untuk semua bangsa

BBBA, 2010: 63 )

Begitulah besarnya harapan penyair. Puisinya mendunia, suaranya melangit tinggi. Penyair besar dunia pernah bersuara seperti itu. Usman Awang penyair besar Malaysia menyuarakan dalam Salam Benua. Begitu juga Maya Angelou, Shel Silverstein, Langston Hughes, E.E. Cummings mahu pun Publo Neruda. Burung-Burung Bersayap Air ditujukan kepada ATKI iaitu Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia. Nova sendiri berjuang dalam bidang migrasi, peace building, gender dan seksualitas. Permukimannya pernah di Kupang ( 2001-2002 ) Banda Aceh ( 2006-2008 ) Bangkok ( 2009 ) serta mengadakan reset A report on National Human Right Institution's ( NHRI's ) work to evaluete and monitor state anti - traffiching sesponses in Association of South-East Asian Nation ( ASEAN ) area ( 2009 )

Selain puisi sebagai genre sisinya, lebih 40 buah tulisan mengenai organisasi perempuan telah dipublish. Organisasi kerjasama Hivos ( organisasi asal Belanda ) adalah mekanisme dan pembangunan perempuan disaingi keadilan di Sumatera dan Jawa. Nova, perempuan pemberani ( title pemberian saya! ) yang lahir tanggal 19 Nopember 1974 di Perkebunan Teh, Kebupaten Bandung, sekarang menetap di Pemulang, Tenggerang Selatan.

Sudah tentu saya tidak akan melihat kembali puisinya dalam kumpulan Burung-Burung Bersayap Air danMelesat namun rohnya ' burung dan air ' yang saya cuba selidiki dengan jiwa penyair ' perempuan pemberani ' ini. Saya teringat Micheal Riffaterre, expresses concepts an things by indirection ( 1998: 11 ) Sajak dibina melalui mainan kata-kata yang disengajakan lewat kepekaan penyair. Yang demikian realiti yang terbina daripada kesan-kesan di luar akan menjelma menjadi realiti yang baru dan membentuk teks.

Kita sering mendengar, karya itu adalah anak kandung pengarangnya. Bagaimana rupa pengarang/penyair, begitulah bentuk puisinya. Apabila penyair telah mengadun semua fantasi, ilusi, imaginasi dan bahasa, karya yang lahir tidak lagi mempunyai wajah yang sama dengan yang asal ( realiti ) Namun acuan asal mempengaruhi pembentukan penghasilan puisi. Judson Jerome menyatakan,alam pemikiran dan imaginatif meleburkan unsur-unsur kreatif. Ia menyuluh kepekaan kepada misteri ( John Middieton: 1967, Myth and Cosmos )

Puisi tidak terhasil dalam suasana vacuum. Dunia Nova adalah dunia gender wanita, yang dilihat, dialami dan diselami. Sebab itu ia menjelma ke dalam diri penyair. Kadang-kadang penyair terpaksa melakonkan kembali penderitaan itu. Ia memasuki alam, kesakitan, kehinaan dan cacian. Ada beberapa puisi yang saya rasa penyair begitu berat menyuarakan tetapi beliau harus. Antaranya, Kepada Perempuan-Perempuan Patpong II.

bibir indahmu tak hanya membuka botol-botol minuman
bibir indahmu menelanjangiku
pada mulut tempat aku lahir di dunia...

Sudah tentu ini bukan diri dan suara hakiki penyair. Penyair terpaksa menyuarakan bagi mewakili perempuan-perempuan patpong yang teraniaya. Sebagai pembutuh keadilan, penyair harus membuka topeng dirinya, menyelam ke dalam khalayak yang mempertimbangkan kebenarannya. Ia terus mengulangi,

bibir-bibir indahmu
berkisah dunia yang tak bersetubuh dengan kebijaksanaan
dan hidup yang tak mau dikalahkan

Lama dulu Chairil telah mengucapkan hal yang sama.

aku ini binatang jalang
dari kumpulan terbuang

Semangat, 1943 )

hidup hanya menunda kekalahan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

Derai-Derai Cemara, 1949 )

Untuk menyuarakan keadilan, Nova tidak harus berlembut secara metafora. Sesekali harus berlagak kasar, brengsek, brutal dan sebagainya yang kadangkala menjejaskan tumpuan audion kepada dirinya. Nova sebagai penyair telah memilih jalan yang berliku ini. Dia memilih untuk menyuarakan yang tabu, seksual dan porno. Saya simpati dengannya, kerana ketulusannya memperjuangkan gender, Nova terpalit sebagai faminisme. Lihatlah matanya yang kuyu, hujung bibirnya yang melukiskan senyuman merayu, ia adalah kekuatan yang tak ketimbang oleh pukulan badai. Dia memilih burung yang terbang bebas, dengan sayap air yang kembang untuk membawa pulang ke peraduannya yang mulus dan mengindahkan.

Burung dan air dalam puisi-puisi Dewi Nova adalah metafora kekuasaan ruang lingkupnya serta kelembutan kewanitaannya. Dalam derap sepatu yang menerjang keras, ada kelembutan cinta yang didambakan oleh penyairnya.

Daftar Pustaka

Dewi Nova, Burung-Burung Bersayap Air, Jaker, Jakarta, 2010

Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, Gramedia, Jakarta, 2000

                                                                Dewi Nova memilih burung dan air dalam mengidentik dirinya..



Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=257472380958910

Kamis, 29 September 2011

Melesat


Surga di atas meja
kita menjadi burung sekaligus air

Sesekali menjadi cahaya
melesati lapis lapis langit ketololan
yang pernah dipercapai sebagai cita


Pondok Indah, Jakarta, 30 September 2011

Minggu, 18 September 2011

Kukutuk Diriku Menjadi Angin


Hudan Hidayat

Puisi Puisi Rahasia
I
Rahasia

Setiap kali matamu terkatup lelap
kukecup kelopak bibirmu
lalu kukutuk ragaku menjadi angin

Bila pagi tiba
kau tahu, aku di ribuan mil tanpa sayap

Bumi, 11 Agustus 2010 II

II
Sibakan

Sibakan rambutku
Serupa penciptaan ombak yang pertama

Bumi, 11 Agustus 2010

III
Lost Time

Kucandui seperti agama
Agar tak sehelai rambutmu
Menganggu jalan sunyiku

Bumi, 14 Agustus 2010


*relasi aku dan kau dalam puisi cepat sekali membawa seni kata kata itu jatuh pada sensasi inderawi semata, tanpa sang penyairnya, entahlah bagaimana melakukannya, memberikan jalan naik dalam puisi. jalan yang sebenarnya bukan diberikan tapi keluar saja dari dalam jiwa sang penyair. bahwa saat ia menulis puisi, jiwa tak sadarnya bangkit, mencari saluran saluran dan itulah saatnya talens sang penyair bekerja: ia menemukan sebuah degup, sebuah denyar, dalam jiwanya yang berdenyut denyut dan kelak, degup dan denyut seperti itulah, kita baca sebagai degup dan denyut kata kata yang telah kehilangan aspek "penjelas/diskursifitas"nya. kata kini menjadi dunia subversi dalam arti, sering bukan dipandu oleh suatu pengertian dalam gelaran kata kata lagi, tapi sebuah pecahan pecahan dari perasaan tua yang kini seolah berebut meminta tempatnya dalam struktur sebuah puisi. kata pun menjadi cetusan cetusan entah.

cetusan entah itulah yang membuat realitas nyata yang rutin, mengalir tenang, kini mendapatkan padanannya: kata membawanya ke arah kemungkinan lain, kemungkinan tak terduga. barang tentu penyairnya masih memakaikan kata yang itu itu juga. tapi isi dari kata yang bergerak gerak itu seolah mahluk yang seolah kita kenali tapi kita belum paham benar apa ini. seolah kita tak paham tapi sepertinya ia adalah wajah kita juga dalam diri kita sendiri. pada dunia kata seperti itulah kadang saya berhenti lama dan terlena, mengenangkan diri sendiri dan mengukurnya sambil berpikir pikir bagaimana cara penyairnya membuatkan kata kata seperti itu di dalam puisi. tapi lalu cepat saya ingat lagi keyakinan saya sendiri: kata seperti itu bukan datang dari otak sadar. mungkin dari suatu keterbiusan sang penyair saat perasaan itu muncul dan menjadi ledakan impuls dari dalam dirinya.

elly dalam ke mana perginya angin, membawaku pada suasana kata yang barusan saya ilustrasikan. suasana kata yang entah walau dalam tampilan kata yang nampaknya serba jelas. suasana yang berakhir di suatu titik henti tak bisa membalik lagi. itu kudapatkan dari kata keranda di dalam puisi. bahwa gerakan engkau datang itu rupanya bergerak ke satu jurusan: keranda - peti mati yang membuat tokoh tokoh dalam dunia sastra mengayunkan sedih dalam diri. ada aku yang menyebut engkau di sana. ada keranda dan banyak gerakan aku yang menyebut engkau di sana. tapi tapi tiga gerakan itu berakhir dalam keranda. dalam gerakan akhir pada waktu subuh. di subuh yang diam air mata pun jatuh, kata sang aku dalam puisi. telah kuhilangkan bulir bulir sebelum air mata itu. bulir bulir itu kupotong untuk mempercepat waktu yang berhenti di keranda. untuk apa lagi bulir bulir kalau air mata itu sudah jatuh di subuh yang diam, dengan keranda di depan matanya yang berkabut air mata. siapa yang datang dalam bait pertama dalam puisi elly marliah ini? engkau datang, katanya.

siapa engkau yang dikatakannya berlari mengejar bayang? bayang apa? terasa itu adalah gerakan dunia dan gerakan dunia ini terasa dibawa naik oleh sang penyair - dibawa naik ke mana? ke mengatasi dunia. sehingga kesan inderawi dilampaui oleh penyair. relasi aku dan engkau tak semata berhenti di titik sedih aku dan engkau, tanpa jalan keluar, atau tanpa aku dan engkau di sana dapat keluar dari semata aku dan engkau. penyair menguit aku dan engkau di sana dengan kata keranda itu, kata bayang, dan seluruh gerakan yang menjurus ke arah mati. kelak di bait kedua ia menali jurusan itu dengan gerakan yang tak tentu arah dan itu adalah angin, pelangi, gerakan dalam kerajaan yang m kapital itu benar benar membuka jalan naik bagi puisi. bahwa semua yang diceritakan penyair di sana, kisah sedih antara aku dan engkau, kini diletakkan ke dalam mu dengan m kapital itu. lalu tahulah kita relasi di dalam puisi adalah relasi mati yang hendak diangkat penyair: bukan tubuh lagi yang menjadi sebuah (semata) kesedihan, tapi sesuatu yang mengatasi tubuh - kerajaan mu dengan kapital itu. yang membuat dunia telah senyap angin pun telah pergi. engkau adalah angin, yang bergerak ke dalam keranda, dalam bayang bayang kerajaannya. di sanalah aku bersedih. melepasmu pergi dalam tiap gerakan yang kau ceritakan tentang dan akan dirimu sendiri.

Engkau datang biarpun kematian membayang Engkau yang lalu lalang menatap nyalang Engkau yang berlari mengejar bayang Disubuh yang diam bulirbulir air matapun jatuh Berpisah di keranda Anginpun pergi JIwajiwa terbang menyongsong pelangi Berenangrenang di muara abadi di kerajaan sang Maha Kudengar anginpun lirih bermain irama Dunia senyap angin telah pergi

 **penyair dewi nova memberi besaran puisi puisinya sebagai puisi puisi rahasia. rahasia apakah yang hendak diceritakan penyair yang mukim di dua kota ini - bangkok dan indonesia, sebagai aktivis lsm yang vokal menyuarakan manusia yang kena nasib buruk oleh kuasa negara. demi memudahkan pengelihatan aku turunkan dulu puisi puisi rahasia yang dibentukkan ke dalam tiga pengucapan dalam puisi dewi nova.

Rahasia

Setiap kali matamu terkatup lelap
kukecup kelopak bibirmu
lalu kukutuk ragaku menjadi angin

Bila pagi tiba
kau tahu, aku di ribuan mil tanpa sayap

Bumi, 11 Agustus 2010 II

Sibakan

Sibakan rambutku
Serupa penciptaan ombak yang pertama

Bumi, 11 Agustus 2010

Lost Time

Kucandui seperti agama
Agar tak sehelai rambutmu
Menganggu jalan sunyiku

Bumi, 14 Agustus 2010

tiap pembahasan puisi bisa menempuh dua arah yang dikehendaki dan kedua jalan itu sama sama jalan yang sah. jalan menempatkan sebuah puisi atau buku penyair ke misal seperti yang diinginkan elliot dalam tradisi dan bakat itu, adalah suatu perbandingan dengan penyair lain yang telah meninggal: tepatnya perbandingan puisi dengan angkatan angkatan dari puisi yang kita bicarakan. jalan seperti ini dapat membuat pengelihatan bukan semata instrinsik sebuah puisi, tapi melibatkan disiplin mungkin politik, sosiologi, sejarah, atau apalah yang bisa dijadikan tools of untuk suatu perbandingan semacam itu. jalan itu bagiku tak efisien diterapkan dalam cara menulis langsung yang sedang kukerjakan ini. lagi pula bagus juga kita langsung menghadapi puisi sebagai puisi yang kita lepaskan dari konteks dengan puisi lain atau konteks dengan suatu sejarah hidup manusia. kalau harus memilih mudah saja: kita buatkan satu bab untuk jalan pertama seperti itu, lalu kita menulis di bab ke dua untuk pengelihatan yang sedang kita kerjakan ini. kritikus belanda itu pernah muncul dengan satu buku kritik menyuarakan jalan kedua yang kupilih ini. ia lebih memfokus pada sepuluh puisi yang ditatapinya.

tergantung pada kata (judul bukunya itu), bagiku menampakkan niat sang kritikus untuk bekerja penuh mencurahkan waktu kepada 10 seni kata kata dari sang penyair yang dibahasnya. bagiku kata memang harus dihadapi dengan membukakan pengelihatan kedua atas sebuah puisi. dinamik yang membuat kita fokus pada keindahan dan kedalaman suatu kata - puisi itu.

seperti misalnya puisi dewi nova ini, yang membawa kata angin juga tapi angin di puisi dewi nampaknya berbeda sekali dengan angin di puisi elly yang baru saya tuliskan tadi. di dewi angin itu berputar ke semata tubuh - tubuh yang sunyi. tubuh yang bisa juga disebutkan sebagai tubuh yang kecewa. ada relasi aku dan kau juga seperti relasi dalam puisi angin-nya elly. tapi aku dan kau di sana semata relasi tubuh. kalau kita berkaca kepada jalan naik sebuah puisi seperti yang dinyatakan di atas, maka pada puisi dewi tak ada jalan naik itu. ia benar benar menceritakan aku dan kau dalam relasi yang nampaknya benar benar lirik - sang kau menjadi pasif. relasi itu kita tahu saat si aku lirik (maka disebut puisi lirik) bercerita tentang hubungannya dengan kau di dalam puisi. hubungan yang satu arah dan arah itu adalah lirik si aku itu, yang bercerita tentang kecewa, atau tentang patahnya suatu angan. tapi apa penyebabnya tak ada penjelas dalam puisi. dan memang tak perlu dijelaskan. puisi toh bukan ilmu yang bersifat diskursif itu. langsung saja sifat kecewa atau patah dalam hubungan itu dinyatakan sang penyair. tapi sifat pernyataan dalam kata itu yang membuat walau dewi tak menguit puisinya untuk naik, dengan memberikan jalan seperti yang ditempuh oleh elly. sifat kata di sana mengambang, membawa ketakpastian. dunia manusia telah bertemu di sana: Setiap kali matamu terkatup lelap/kukecup kelopak bibirmu kata kata di atas seakan membawa suasana romans dalam kehidupan manusia, oleh kata khas yang dipakai dalam sebuah romans: terkatup, lelap, kukecup, kelopak, bibir. seakan meng ia kan suatu percintaan. tapi lihatlah sang penyairnya membawa hal yang indah itu ke getir, bahkan getir yang fatal. dengan kecewa (atau kosong dari perasaan?) ia berkata dalam lanjutan katanya: lalu kukutuk raguku menjadi angin. dua tampilan bahasa seperti ini membuat struktur pemaknaan menempuh ketidakpastian - membuat puisi cepat masuk ke dalam bayang hidup kita sendiri juga: yang serba tak pasti. maka kita cepat masuk ke dalam dua tampilan kata itu: meng ia kan tapi sekaligus dalam luncuran kata yang sama: men-tidak-kan. lalu mengapa ia pertama itu kini dijawab dengan tidak? hingga begitu fatal tidak itu: kukutuk ragaku menjadi angin. raga itu fisik dan angin itu bukan fisik dalam pengertian tak terlihat oleh indera. mengutuk fisik atau mungkin kita sebut saja sebagai ada. mengutuk ada dan angin boleh kita pindah menjadi tiada. maka mengutuk ada untuk tiada, inilah suatu meaning yang kita dapatkan dari relasi antara aku dan kau di sana. aku yang ada menjadi tiada dari suatu hubungan yang nampaknya adalah romans.

apakah ini artinya untuk sebuah representasi bahasa sebagai tampilan hubungan manusia? kata di akhir puisi menampakkan space ruang dan space waktu dalam puisi. nampaknya itu hubungan semalam - romans itu, tempat di mana sang aku dalam puisi menghilangkan dirinya - menjadi tiada dengan suatu bahasa yang bukan main kuat: kukutuk ragaku menjadi angin. angin sebagai simbolik ketidakpastian kini membawakan arah baru dalam dirinya: kena kutuk dan menjadi limpahan raga yang kena kutuk. dulu malin kundang dikutuk ibunya dan menjadi batu. kini dewi - sesama perempuan (tanpa harus mengacukannya ke jender), mengutuk dirinya sendiri tapi bukan menjadi batu tapi menjadi angin. maka nampak bagiku angin di sini adalah suatu arah baru perlawanan. bukan batu yang diam tapi tubuh yang menyongsong gerakan dirinya sendiri ke dalam ketidakjelasan - ketakpastian itu ditempuhnya, dan untuk itu romans itu ia tinggalkan. ini suatu pemihakan diri yang menemui arahnya pada dunia simbolik kata kata: kukutuk diriku menjadi angin, menjadi suatu puncak pengucapan atas diri yang hendak bebas. bebas ke mana diri yang telah menjadi angin itu? kebebasan selalu membawa ke pada resah. tapi mereka yang memihak pada eksistensi akan menerimanya sebagai resiko. sebagai suatu yang niscaya. pedih kebebasan itu bahkan fatal kebebasan itu, tapi harus kita tempuh demi suatu eksistensi diri. lihatlah kata dewi: Bila pagi tiba/kau tahu, aku di ribuan mil tanpa sayap maka bagi saya jalan naik yang dibawa puisi dewi ini menempuh arahnya sendiri - jalan itu naik juga tapi tidak melalui suatu institusi yang disubstitusikan oleh elly tadi dengan kerajaan dengan m kapital itu. dewi membawa puisinya naik, bahkan dengan berani walau pahit adanya, ke dalam dirinya sendiri sebagai manusia. untuk itu ia berani dan tak gentar untuk berada jauh sendirian. dunia romans dilipat oleh dunia kesendirian dalam hidup manusia. aku di ribual mil tanpa sayap - terbaca sebagai aku jauh sendirian tanpa kau lagi di sampingku.

adalah menarik dari suatu bongkah misteri kata kata dalam puisi dewi: apa yang terjadi dalam romans itu, sehingga sang aku lirik berlari sejauh itu. tidakkah apa yang dilakukan dewi nova sama dengan yang dilakukan oleh chairil dulu? aku ini binatang jalang dari kumpulan yang terbuang, untuk suatu jarak pemisahan diri dari kerumunannya (puisi ini harus dibaca pada suatu konteks yakni konteks kita sebagai anak negeri yang lagi terjajah, sehingga kata seperti itu meletup kuat bukan main sebagai bom katarsis bagi manusia indonesia yang sedang mencari diri saat itu) pada dewi pemisah itu datang dari relasional antara aku dan dia-nya. tapi arahnya sama penuh resiko, yang nampaknya kuat dibayar sang aku dewi seperti yang telah dibayar oleh sang aku chairil. kukutuk ragaku menjadi angin kau tahu, aku di ribuan mil tanpa sayap begitulah dalam bayangan bahasaku, betapa pengucapan orang dulu dan orang masa kini, tak begitu banyak beda arah dan isinya.

suatu pemberontakan selalu berulang: mengatasi terus ruang dan waktu dalam hidup manusia. seperti sukarno dan kawan kawannya dulu: memberontak sebagai aku melawan kau kolonial. remasan aku sukarno kini menjadi pecahan aku dewi, aku elly, dan aku kita kita yang hendak menempuh arah kebebasannya sendiri sendiri juga. selamat hari merdeka wahai segenap manusia di mana pun kita berada. kukutuk diriku menjadi angin.

Salam Manis dari Kunyit

Kepada Putu Oka Sukanta

Salam manis dari kunyit
yang ditanam perempuan bertangan angin
"tak pakai racun serangga," katanya
walau desa dikepung sawit berbau pestisida

Salam manis dari kunir
kumpul mengumpul meracik jamu
berguru pada ibu bumi
dan anak kandung tetumbuhan

Salam manis dari jahe
penduduk mulai mencintainya
dirayu para ibu belajar minum cahaya
pada sebuah warung di Desa Pinang Merah

Salam manis dari madu
untuk pertemuan silam yang syahdu
yang menyulami tangan angin para ibu
dan jiwa airmu

Merangin, Jambi, 14 Agustus 2010

Kepada Kekasih Mei - Satu Dobrakan Massa


Djazlam Zainal

Kepada Kekasih Mei 


Kekasih, ingatkah
waktu surat merahmu kau kibarkan
jiwaku kertas terbakar
hangus dalam pikiranmu
tentang perdagangan  
yang mencinta upahannya

Demi kopi yang kita hirup bercangkir-cangkir
bicaramu merampas hati lelaki muda 
kau terbang seperti inspirator

Telah kulihat
batu bata yang kau susun
untuk mengusung mimpimu

Jika revolusi itu lahir
aku akan mencium benderamu
untuk setiap air mata yang dimiskinkan

Kekasih, ingatkah 
ketika kau cium betisku
berapa  buruh perempuan
tak berwaktu bertemu pujaan
tak berbadan sehat untuk bercinta

Kekasih, ingatkah
waktu bibirmu diantara pahaku
berapa buruh perempuan
tak mampu merapat badan
saling melilit seperti kita

Para pemilik uang
memperkosa badan - fantasinya
tak jumpa  cara
mencari adil
menempuh sembuh

Kekasih..
ingatlah betisku,  setiap kali kau susun batu bata
Samak  mimpimu untuk kemerdekaan tubuh dan hidup buruh perempuan

Ingatlah setubuh kita
pada setiap manifesto yang kau tulis

Ajari sistemmu
untuk berbuat malu,  menafikan  perempuan
Bawa beranimu
pada pengadilan, penyembuhan buruh perempuan


Kekasih merahku...
tak ada sistem sempurna
yang menempatkan hidup perempuan
sepenting kegilaan utopismu

Dengar dan hitung  suara-suara perempuan
pada meja-meja merah keputusan

Hanya dengan itu
kita akan bertemu di ranjang
tempat kuciumi
sekujur tubuh dan pikiranmu

Bangkok, 4 Mei 2009
Edited 1 Mei 2011

1 Mei disambut oleh setiap warga buruh dunia dengan kecamukan yang tersendiri. Buruh walau di mana tempatnya di dunia ini adalah golongan dengan pasrah dengan kudrat yang diberi. Ternyata buruh mendambakan sesuatu yang lebih baik dari yang kudrat yang diterima selama ini. Bagi Dewi Nova Wahyuni, ada sesuatu yang tidak beres telah berlaku dalam pengendalian sistem buruh terutamanya perempuan. Kerana inilah yang diperlihatkan dalam sajak Kepada Kekasih Mei-nya ini.

Memang agak vokal suaranya. Tetapi memang itulah suara penyair perempuan pemberani ini, Dewi Nova Yahyuni. Ini bukan pertama kalinya Dewi Nova sevokal ini kerana melalui Burung-Burung Bersayap Air ( JAKER, Jakarta, 2010 ) suara sedemikian  telah dilantunkan. Dewi dengan berani menyatakan,

kekasih, ingatkah
ketika kau cium betisku
berapa buruh perempuan
tak berwaktu bertemu pujaan
tak berbadan sihat untuk bercinta

kekasih, ingatkah
waktu bibirmu diantara pahaku
berapa buruh perempuan
tak mampu merapat badan
saling melilit seperti kita

189 negara PBB setuju melaksanakan delapan keberadayaan pembangunan antaranya menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan tenaga perempuan. Perempuan adalah kaum terpidana yang selalu menjadi mangsa pembangunan masyarakat di seluruh dunia. Ini terjadi sejak zaman berzaman. Ketika zaman feudal Rome, perempuan dianggap seperti binatang yang diperhambakan oleh lelaki. Zaman jahiliah Arab, anak perempuan dibunuh kerana memberi malu kepada keluarga. Sehingga datang Islam yang menyelamatkan perempuan, perempuan berada dikedudukan mulia di sisi Islam. Namun, apabila dunia kembali terbelunggu oleh jatah kebinatangan dan kehewanan, perempuan jatuh kembali ke lembah paling hina. Diperdagangkan seperti binatang, barang perusahaan, perempuan juga merupakan buruh yang ditulanggangi seenaknya. Ketika para pemodal dan pemilik uang melilit tubuhnya di celah kelangkang perempuan, perempuan lain sedang didobrak tenaganya di celah susunan batu bata.

Dewi Nova menyatakan harapannya,

jika revolusi itu lahir
aku akan mencium benderamu
untuk setiap air mata yang dimiskinkan

Itu harapan penyair. Namun ada kesinisan dan kontradiksi di sini apabila Dewi menyatakan.

kekasih..
ingatlah betisku, setiap kali kau susun bata bata
samak mimpimu untuk kemerdekaan tubuh dan hidup buruh perempuan
ingat setubuh kita
pada setiap manifesto yang kau tulis

Ketika kaum sejenisnya dilanjan begitu rupa, perempuan juga seakan merelakan dirinya diperkosa untuk sedikit harapan pembebasan perempuan. Lihatlah betapa murahnya perempuan, apabila Dewiberkata,

ingatlah setubuh kita
pada setiap manifesto yang kau tuliskan

Ini suara perempuan bukan? Suara perempuan yang ingin dibebaskan! Lama dulu Rendra pernah menyatakan penasarannya.

Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta

Pelacur-pelacur kota Jakarta
dari kelas tinggi dan rendah
telah diganyang
telah dihura-hara
Mereka kecut
keder
terhina dan tersipu-sipu
...

Wahai, pelacur-pelacur kota Jakarta
sekarang bangkitlah
sanggul kembali rambutmu
kerana setelah menyesal
datanglah kini giliranmu
bukan untuk membela diri melulu
tapi untuk melancarkan serangan

Dengan tegas, Rendra telah melancarkan serangannya terhadap diskriminasi kaum perempuan. Pelacur-pelacur kelas tinggi dan rendah. Berstatus juga rupanya golongan pelacur atau nama manis 'pekerja seks ' ini. Ada kelas tinggi dan kelas rendah. Apakah ada juga buruh berkelas tinggi dan rendah? Buruh dengan sendirinya bersignifiken kelas bawah!

Dewi sebenarnya bercakap atas realiti hari ini. Siapakah pengubal acara dalam membrandal semua kebejatan posisi ini.

kekasih merahku..
tak ada sistem sempurna
yang menempatkan hidup perempuan
sepenting kegilaan utopismu

dengar dan hitung suara-suara perempuan
pada meja-meja merah keputusan

hanya dengan itu
kita akan bertemu di ranjang
tempat kuciumi
sekujur tubuh dan pikiranmu

Itulah hasrat perempuan. Mereka tahu bahawa keputusan berada di tangan kaum pemodal ( pejantan ) dan mereka menyogokkan kelemahan pejantan ini dengan kelemahan nafsu. Sistem harus ditulis dan diputuskan di atas ranjang ketika semua akal lesap di celah kelangkang perempuan. Sangat ironisnya dunia gembala hewan. Di tangan merekalah perempuan mahu dibebaskan dan diberi sedikit kemanusiaan.

Saya sangat teruja dengan topik buruh perempuan yang diajukan Dewi Nova Wahyuni ini. Sebagai pengamat sosial yang bergerak di rantau Asean, Dewi Nova telah menemukan kesengsaraan. Beliau telah menemui segala keburukan kerja perempuan di negaranya, di kota-kota besar seperti Jakarta, Aceh, Kuala Lumpur, Bangkok, Singapura dan Manila. Sudah tentu itu yang dilihat di depan mata, belum lagi yang tersorok di negara-negara Timur Tengah, Hong Kong. China Taipei, Jepang dan merata tempat buruh perempuan Indonesia dibekalkan. Bukan  sedikit perkabaran menyatakan buruh perempuan ini diperhambakan seperti binatang. Diperkosa majikan, diperlaku tidak seperti manusia dan sebagainya. Ironisnya, mereka terdera oleh kaum sejenisnya. Ketika kaum pemodal lahab berselingkoh, kaum perempuan jatuh martabatnya. Di manakah kesaksamaan. Di manakah keadilan sosial yang setiap tahun diperbaharui keampuhannya? Inilah dambaan penyair.

Saya kira, perempuan sendiri tidak bersatu dalam hal ini. Ya, ketika jutaan buruh perempuan terdera, jutaan pelacur kelas tinggi dan rendah, tersimpuh di bawah lelaki. Mereka memperhambakan diri serendah-rendahnya sebagai manusia. Mereka menanggapi bahawa mereka adalah raja yang dapat menunduk dan menguasai lelaki. Mereka antaranya berkedudukan tinggi sebagai jabatan. Siapakah di antara mereka yang menubruk perempuan buruh kelas bawahan ini. Mereka adalah perempuan sendiri. Dewi Nova telah menyuarakan kebimbangannya. Dewi Nova telah merendah sedemikian bawah untuk memohon keprihatinan yang sewajar. Saya kira itu kemampuannya, menghadiahkan sebuah gejolak batin di hari buruh yang dirayakan oleh seluruh warga dunia pada 1 Mei ini. Selebihnya, kitalah yang akan menentukan segala-galanya. Selamat Hari Pekerja..



Sajak Sajak Lebaran Dewi Nova ke Arah Puisi Mbling?


Djazlam Zainal


Sajak Sajak Lebaran

I
Zikir Akbar

Mengapa kita membiarkan guru pembunuh dan tukang pukul
memimpin zikir akbar?

Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar

Mari berlebaran dengan santapan daging sesama


Tangerang Selatan, 2011


II
Keluarga

Di meja ketupat
ikatan-ikatan keluarga menguat

Barang siapa membuih-buihkan agama di mulutnya
Barang siapa mengarab-arabkan gaun dan tutup kepalanya
dapatlah ia anggukan dan pujian terbanyak

Biar ia rendahkan puan yang rahim hidup
Biar ia rendahkan tiap-tiap yang berjiwa 
Biar ia rangsak perut-perut yang lapar

Di meja ketupat
diam-diam kulepas ikatan


Bogor, 2011


III
Kastangel Cinta

Lebaran tiba bersayap angsa
kugigit kastangel buatan Bunda
sambil mengenang Nenek  mendendangkan Islam untuk menyinta


Cipinang, 2011


Membaca Sajak-Sajak Lebaran Dewi Nova, saya pantas teringat puisi mbling yang pernah muncrat pada suatu ketika dulu. Apakah secara tidak sadar Dewi telah mulai mempraktikan kembali puisi-puisi mbling? Puisi mbling dikatakan berspiritkan pemberontakan kemandengan situasi social budaya, politik, dengan idiom yang mbling, apa adanya, lugu bersifat melawan kemampanan, segera menjadi isu yang seksi bagi kaum muda. ( Heru Emka, 2011 )
Puisi mbling mendapat nyawanya sebagai gerakan penulisan puisi alternatif, bermula di Bandung pada tahun 1970-an, dicetus pertama kalinya oleh majalah Aktual oleh Ramy Solido, Jehan dan Abdul Hadi WM yang kemudian merebak menjadi wacana nasional. Gerakan ini dilancarkan untuk melawan elitisasi sastra yang berpusat pada majalah Horison serta gerakan caltural seperti perkemahan Kaum Urukan yang dilakukan oleh Bengkel Teaternya WS Rendra di Prangtritis.

Di Malaysia, pertengahan tahun 1970-an terdapat satu gerakan dari Anak Alam yang dianggotai oleh Latif Mohidin, Mustaffa Ibrahim, Siti Zainon Ismail yang juga mahu merakyatkan puisi dan seni lukis. Ia kemudian disertai oleh penyair-penyair jalanan seperti Pyan Habib, Sani Sudin, Kamarul Haji Yusuf dan lain-lain. Beberapa elitis sastra seperti A. Samad Said agak keberatan dengan cara baru penyair jenis mbling ini. Sedangkan Usman Awang agak merestui. Puisi-puisi mbling dibawa ke jalan raya, ke bawah tiang-tiang lampu di Pasar Seni ( sekarang Pasar Budaya ) atau di Jalan Melayu di Wisma Yakin, Kuala Lumpur ( sekarang Jalan Masjid India ) Puisi mbling ini dibaca dengan teriakan keras, menjerit-jerit hingga Pak Samad beriaksi, ' itu bukan puisi, itu jeritasi, atau apa sih! ' Sinis beliau. Antara puisi mbling Pyan Habib;

gua gelita malam
aku
       sujud
menyetubuhi subuh
di depanmu
bagai anjing-anjing liar
meraung
               menggelepar
                                   menyentak
berahi hitammu
meraung
              menggelepar
                                  menyentak
ghairah mimpiku

( gua, kuala lumpur, 1979: 8 )

Atau puisi-puisi lain Pyan Habib yang terluka.

seperti
ketika air sedang surut
- aku mengembara
begitu siput
dengan mulut penuh lumpur
- terkapar
begitu aku
jadi nanar
dan tersungkur
dengan mulut terbuka
menghulur
lidah terbakar

terluka, kuala lumpur, 1977: 14 )

Puisi-puisi Pandu Ganes, ( 2011 ) tokoh dari Paguyuban Karl May, Indonesia ini juga menulis puisi mbling.

Kabut menyelimut
malam semakin redup
pandangan selangkah dua ke depan
kelonteng trem di Kannedy Town bertalu lirih meminta jalan
Harum kenari bertemu ruyak ke mana?
dan..
manakala kabut tersaput
Dahak Cina di mana-mana

Hong Kong, Kampung Peladen, 2011 )

Atau puisi-puisi senafas yang membrengkut ini.

Demokrasi
Nek Emoh
ya dikerasi

Demokrasi di Masa Orba, Kampung Peladen. 2011 )

Yeah!
Yeah!
Yeah!

( Bitelmania Selalu, Kampung Peladen, 2011 )

Sajak-Sajak Lebaran, Dewi Nova ( 2011 ) saya melihatnya cukup sinonim dengan puisi mbling.


Mengapa kita membiarkan guru pembunuh dan tukang pukul
memimpin zikir akbar?

Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar

Mari berlebaran dengan santapan daging sesama


zikir akbar, tengarang selatan, 2011 )


Di meja ketupat
ikatan-ikatan keluarga menguat

Barang siapa membuih-buihkan agama di mulutnya
Barang siapa mengarab-arabkan gaun dan tutup kepalanya
dapatlah ia anggukan dan pujian terbanyak

Biar ia rendahkan puan yang rahim hidup
Biar ia rendahkan tiap-tiap yang berjiwa 
Biar ia rangsak perut-perut yang lapar

Di meja ketupat
diam-diam kulepas ikatan


keluarga, bogor, 2011 )

Lebaran tiba bersayap angsa
kugigit kastangel buatan Bunda
sambil mengenang Nenek  mendendangkan Islam untuk menyinta


kastengal cinta, cipinang, 2011 ) * kastengal adalah sejenis kue kering lebaran yang mesti ada bagi masyarakat Indonesia ketika menyambut lebaran mulia.

Dewi Nova, menulis puisi, cerpen, reportasi dan esai. Bukunya, Burung-Burung Bersayap Air ( Joker, 2010 ) mendobrak kuat puisi Indonesia. Pendatang muda puisi ini jelas pengkagum feminis, buku socialnya Kajian Analisis Dampak Pelembagaan Nilai-Nilai Agama Terhadap Kehidupan Perempuan ( Solidaritas Perempuan Aceh, 2011 ) Kami Tak Bisu, Kongkow Lez ( Institut Perempuan, 2011 ) dan juga ampunya perkumpulan Perempuan Berbagi, organisasi yang percaya pada perempuan melampaui batas kebutuhan dan orientasi seks. Dari kacamata sedemikian, saya melihat Sajak-Sajak Lebarannya.

Sudah pasti perempuan yang keliling kegiatan socialnya atas nama perempuan ke seluruh manca negara, Bangkok, Ren Rai, Chengmai dan sebagainya, sesekali pulang ke Tengarang, merayakan idul fitri ke rumah tetuanya, akan mendapat cerita yang berbagai. Dalam baris pertamanya, mengapa kita biarkan guru pembunuh dan tukang pukul memimpin zikir akbar, aluhu akbar ( 3 X ) menunjukkan aksi protesnya terhadap situasi semasa kebobrokan amir agama. Sudah banyak didengar tentang ketidak sependapatnya mereka terhadap hal-hal agama. Hingga penyair mengajak mereka, mari berlebaran dengan santapan daging sesama.

Dalam puisi Keluarga, penyair lebih menatap tentang hubungan dirinya dengan keluarga. Katanya, di meja ketupat/ ikatan keluarga menguat. Ya, sudah tentu kembali ke dalam keluarga di hari lebaran ( di lambang di meja ketupat ) sungguh membahagiakan. Namun, baris keduanya berisi konfliks antara budaya. Bilang siapa membuih-buihkan agama di mulutnya/ bilang siapa mengarab-arabkan gaun dan tutup kepalanya/ dapatlah ia dianggukkan dan pujian terbanyak. Di hadapan keluarga ortodok yang berfikiran tertutup dengan ikatan tradisional dan penuh islamik, sudah tentu risih dengan keluarga perempuan yang sangat bebas cara pakaian, cara pertuturan malah cara kehidupan desa yang tradisional. Barangkali pemandangan perempuan dewasa tanpa tutup kepala ( purdah ) tanpa pakaian menutup aurat ( biasa bergaun ala perempuan  bole ) menunjukkan betapa perempuan social ini jauh daripada budaya keluarganya yang islamik. Jadi segala omongan orang tua menjadi, biar ia merendahkan puan yang rahim hidup/ biar ia merendahkan tiap-tiap yang berjiwa/ biar ia rangsak perut-perut yang lapar. Dia tidak dapat menerima kata-kata yang berada di luar kondisi kehidupannya. Akhirnya, penyair membuat konsendensi, di meja ketupat/ diam-diam terlepas ikatan. Kata-kata nasihat orang tua telah menguraikan ikatan persaudaraan. Walau pun pada hakikatnya, dia pulang untuk mengeratkan  ikatan keluarga. Barangkali untuk lebaran mendatang, penyair tidak akan berada di meja ketupat lagi setelah ikatan keluarga yang melonggar itu.

Dalam Kastengel Cinta ( kastengel adalah kue tradisi yang kedapatan pada musim lebaran ) juga memberi nafas yang sama. Kepulangan berlebaran yang umpama putih angsa, rupanya disuguh dengan bebelan nenek mengkutbah Islam untuk menyita ( untuk menguasai ) Tentunya bagi anak muda yang biasa bebas dengan segala urakan, segala nasihat hanya dianggap penyitaan dan kongkongan belaka. Ketiga-tiga puisi lebaran ini jelas memberi tamparan emosi buat penyair biar pun ia berlaku di Tengaran, Bogor dan Cipinang. Tetapi seakan-akan mereka ini melempar tusukan yang sama. Islam yang pada pandangan penyair tidak toleran.

Barangkali bahasa Dewi Nova tidak pas-pasan seperti penyair mbling yang lain. Namun cetusan mindanya jelas mbling iaitu cuba melawan elitisasi Islam bagi golongan ortodok. Dewi mempunyai pandangannya terhadap Islam yang lebih liberal namun bertentangan dengan nilai-nilai desa terutamanya hari lebaran yang lebih merupakan perayaan keagamaan. Di kota-kota besar mungkin lebaran yang merupakan perayaan selepas terkongkong oleh ramadhan yang tersekat oleh banyak ketidak bolehan melakukan itu dan ini. Dan hari lebaran bagi golongan liberal ini mengisi kembali kebiasan-kebiasaan yang ditinggalkan itu. Menjingkrak semau mungkin. Berkelakuan semau yang boleh. Ini juga ciri-ciri mbling di luar pengucapan puisi.